Jumat, 12 Desember 2008

Matematika Realistik

Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Dengan RME
(Oleh:zainurie) diposting oleh:Helena Panca

Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas.

Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain:

1. Dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994),
2. dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).

Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa.Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting.

Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.

Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru dan siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar.

Tulisan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, konsepsi tentang siswa, peran guru, konsepsi tentang pengajaran, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di Indonesia.

Sejarah PMR

PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda. Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education).

RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi).Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.

Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?

Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri (Zamroni, 2000):
• cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek;
• guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner;
• materi bersifat subject-oriented; dan
• manajemen bersifat sentralistis.Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):

1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.

Konsepsi tentang Siswa PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
• Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik. Peran Guru PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
• Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
• Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
• Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
• Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial.

Konsepsi tentang Pengajaran Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):

• Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
• Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
• Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
• Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Harapan Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya.Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni, (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:

• di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
• mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
• bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
• memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Catatan ini di tulis oleh: Sutarto Hadi
FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin


Segi empat sama ajaib

Dalam matematik rekreasi, sebuah segi empat sama ajaib pada aturan n adalah suatu urutan bilangan n², biasanya integer berlainan, dalam sebuah segi empat sama, seperti mana yang bilangan n dalam semua barisan, semua column, dan kedua jumlah diagonal ke konstan sama.[1] Sebuah segiempat sama ajaib biasa mengandungi integer dari 1 ke n². Istilah "segiempat sama ajaib" juga kadang-kadang digunakan untuk merujukkan pada mana-mana jenis pelbagai segi empat sama kata.

Segiempat sama ajaib bermuncul untuk semua aturan n ≥ 1 kecuali n = 2, walaupun kesnya n = 1 adalah trivial—ia mengandungi suatu sel tunggal yang mengandungi nombor 1. Kes bukan-trivial terkecil, ditunjuk di bawah, adalah aturan 3.

Jumlah konstant dalam setiap row, column dan diagonal digelar konstan ajaib atau jumlah ajaib, M. Konstan ajaib pada segiempat sama ajaib terpulang hanya pada n dan mempunyai nilai

M(n) = \frac{n^3+n}{2}.

Untuk segiempat sama ajaib biasa pada aturan n = 3, 4, 5, …, konstant ajaibnya adalah:

15, 34, 65, 111, 175, 260, …

Sejarah segiempat sama ajaib

Sasatera China melatar belakang seawal 650 SM menceritakan lagenda Lo Shu atau "scroll dari sungai Lo".[2] Di China silam, ada suatu banjir yang besar. Rakyatnya cuba untuk memberikan pengorbanan ke dewa sungai pada salah satu sungai banjir, sungai Lo, untuk menyenangkan kemarahannya. Kemudian, di situ bermuncul dari seekor kura-kura dengan suatu angka/corak pada kulitnya; ada titik-titik bulat bilangan yang diatur dalam suatu corak petak sembilan tiga seperti mana jumlah bilangan dalam setiap baris, lajur dan diagonal yang sama; 15. Nombor ini juga sama dengan bilangan hari setiap 24 kitaran tahun matahari China. Corak ini, dalam sesetengah cara, telah digunakan oleh orang-orang yang mengawal sungai itu.


4

9

2

3

5

7

8

1

6


The Lo Shu Square, as the magic square on the turtle shell is called, is the unique normal magic square of order three in which 1 is at the bottom and 2 is in the upper right corner. Every normal magic square of order three is obtained from the Lo Shu by rotation or reflection.

The Square of Lo Shu is also referred to as the Magic Square of Saturn or Cronos. Its numerical value is obtained from the workings of the I Ching when the Trigrams are placed in an order given in the first river map, the Ho Tu or Yellow River. The Ho Tu produces 4 squares of Hexagrams 8 x 8 in its outer values of 1 to 6, 2 to 7, 3 to 8, and 4 to 9, and these outer squares can then be symmetrically added together to give an inner central square of 5 to 10. The central values of the Ho Tu are those of the Lo Shu (so they work together), since in the total value of 15 x 2 (light and dark) is found the number of years in the cycle of equinoctial precession (12,960 x 2 = 25,920). The Ho Tu produces a total of 40 light and 40 dark numbers called the days and nights (the alternations of light and dark), and a total of 8 x 8 x 8 Hexagrams whose opposite symmetrical addition equals 8640, therefore each value of a square is called a season as it equals 2160. 8640 is the number of hours in a 360-day year, and 2160 years equals an aeon (12 aeons = 25,920 yrs).

To validate the values contained in the 2 river maps (Ho Tu and Lo Shu) the I Ching provides numbers of Heaven and Earth that are the 'Original Trigrams' (father and mother) from 1 to 10. Heaven or a Trigram with all unbroken lines (light lines - yang) have odd numbers 1,3,5,7,9, and Earth a Trigram with all broken lines have even numbers 2,4,6,8,10. If each of the Trigram's lines is given a value by multiplying the numbers of Heaven and Earth, then the value of each line in Heaven 1 would be 1 + 2 + 3 = 6, and its partner in the Ho Tu of Earth 6 would be 6 + 12 + 18 = 36, these 2 'Original Trigrams' thereby produce 6 more Trigrams (or children in all their combinations) -- and when the sequences of Trigrams are placed at right angles to each other they produce an 8 x 8 square of Hexagrams (or cubes) that each have 6 lines of values. From this simple point the complex structure of the maths evolves as a hexadecimal progression, and it is the hexagon that is the link to the turtle or tortoise shell. In Chinese texts of the I Ching the moon is symbolic of water (darkness) whose transformations or changes create the light or fire - the dark value 6 creates the light when its number is increased by 1. This same principle can be found in ancient calendars such as the Egyptian, as the 360 day year of 8640 hrs was divided by 72 to produce the 5 extra days or 120 hours on which the gods were born. It takes 72 years for the heavens to move 1 degree through its Precession.

Arabia

Segiempat sama ajaib dikenali pada ahli matematik Arab, mungkin seawal abad ke-7, apabila orang Arab berhubung dengan budaya India atau Asia Selatan, dan mempelajari matematik dan astronomi India, termasuk aspek-aspek matematik berkombinasi. Ia juga telah dicadangkan bahawa gagasan tiba melalui China. Segiempat sama ajaib pertama pada aturan 5 dan 6 bermuncul di sebuah ensiklopedia dari Baghdad sekitar 983 M, Rasa'il Ihkwan al-Safa (Ensiklopedia Brethern of Purity); segiempat sama ajaib yang lebih mudah dikenali pada beberapa ahli matematik awal Arab.[2]

Ahli matematik Arab Ahmad al-Buni, yang bekerja pada segiempat sama ajaib sewaktu 1200 M, menganggap ciri-ciri mistikal pada mereka, walaupun tiada rinci pada ciri-ciri sepatutnya ini dikenali. Ada juga rujukan pada kegunaan segiempat sama ajaib pada pengiraan astrologi, suatu amalan yang kelihatan berasal dari orang Arab.[2]

India

Segiempat sama ajaib 3x3 telah digunakan sebagai sebahagian dari upacara di India sejak zaman vedic, dan berlanjut untuk digunakan untuk sampai ia tidak layak digunakan lagi. Suatu segiempat sama ajaib yang terkenal di India dapat dilihat di Khajuraho di kuil Jain Parshvanath. Ia bermula dari abad ke-10 [3].

7

12

1

14

2

13

8

11

16

3

10

5

9

6

15

4

Ini dirujukkan sebagai Chautisa Yantra, sejak setiap sub-segi empat sama berjumlah ke 34.

The Sagrada Família magic square

A magic square on the Sagrada Família church façade.

The Passion façade of the Sagrada Família church in Barcelona, designed by sculptor Josep Subirachs, features a 4×4 magic square:

The magic constant of the square is 33, the age of Jesus at the time of the Passion. Structurally, it is very similar to the Melancholia magic square, but it has had the numbers in four of the cells reduced by 1.

1

14

14

4

11

7

6

9

8

10

10

5

13

2

3

15

While having the same pattern of summation, this is not a normal magic square as above, as two numbers (10 and 14) are duplicated and two (12 and 16) are absent, failing the 1→n² rule.


TUGAS MATEMATIKA SMU GONZAGA

Sebentar lagi Ulangan Blok, yang rajin belajarnya
download soal.
http://www.ziddu.com/download/6338051/statisticTaskChapter1ipa.doc.html